Setiap ukiran wajahnya mengandung makna yang sangat dalam, menginterplai kita untuk selalu mematuhi sugesti bisu sang Damang. Garang, bijak dan rasa mengayomi bercampur dalam warna yang berbeda. Sebuah budaya yang tercipta untuk mengenang seorang sakti yang berjasa bagi daerahnya…
Malam hari tergantikan oleh pagi yang cerah, matahari pun menyembul dari ufuk timur, cahayanya yang menyinari setiap inci bumi tak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti kota, menandakan bahwa ini adalah kota yang indah nan permai. Kota sejuk yang berada di daratan tinggi ini tak hanya berisikan pohon dan sawah lagi. Sesuai dengan perkembangan zaman, kayu-kayu telah disihir menjadi sebentuk bangunan yang megah, jalan-jalan telah dipolesi dengan beton aspal yang kian mempercantikkota. Dilintasi dengan laju kendaraan yang mulai mengisi ruas jalan, menandakan sudah dimulainya aktifitas setiap manusia.


Bondowoso, beberapa orang menganggapnya sebagai ‘kota mati,’ mungkin karena letak geografisnya yang ada di sekitar lereng pegunungan dan sepinya penduduk dibandingkan dengan kota-kota lain. Tapi nyatanya, beragam aktifitas manusia masih memenuhi kota Bondowoso, kemolekan alamnya pun kian terawat, terlebih ragam seni budayanya yang semakin menghidupi kota. Pojien, Gelundeng, Tapong, Kerteh, Singo Ulung, budaya-budaya itulah yang semakin meramaikan warna-warni eksotika Bondowoso.
Melalui jalan Situbondo, berhentilah di perusahaan Telkom Prajekan sebelah utara perusahaan itu terdapat gang kecil selebar satu motor, tepatnya di Prajekan Kidul Rt.4 Rw.10 terdapat bangunan yang didirikan dengan anyaman bambu dengan dua pintu di sisi depan rumah yang digunakan sebagai gudang penyimpanan saksi bisu keragaman budaya Bondowoso. Yup, itulah pendopo Gema Bhuana yang menjadi tempat pelatihan berbagai macam atraksi, budaya dan seni yang ada di kota tape ini. Gema yang artinya bergema/terdengar, Bhuana ialah bumi, jadi tujuan didirikannya pedepokan Gema Bhuana sendiri agar seabrek seni yang ada di Bondowoso dapat terdengar insan bumi seutuhnya.
Salah satu dari sekian banyak budaya yang eksotik untuk kita ulas adalah Singo Ulung. Budaya yanglima kali menjuarai berbagai lomba (4 diantaranya tingkat nasional dan satu se-propinsi) bukan hanya menjadi ikon untuk kota Bondowoso tetapi juga sebagai syarat mutlak untuk sebuah upacara ritual bersih desa Blimbing pada tanggal 13-15 Sya’ban. Upacara ini diselenggarakan sebagai bentuk penghormatan akan jasa-jasa dan kesaktian Damang Juk Seng seorang kepala desa Blimbing Kecamatan Kelabang Kabupaten Bondowoso pada masanya.
Melihat dari sejarahnya Juk Seng yang masih keturunan darah biru dari Sumenep pergi ke Blambangan, Banyuwangi untuk menemui Singo Juru, saudaranya. Disana, Mbah Singo (Juk=nJujuk (Mbah) Seng=Senga (Singa) menjadi prajurit dibawah komandan saudaranya itu. Setelah sekian lama menjadi prajurit, Juk Seng melanjutkan perjalanannya ke daerah hutan yang ada di Bondowoso, sehingga ia bertemu dengan Jasiman, seorang Ulama’ dan ahli perguruan tinggi asal Madura yang mempunyai banyak pengikut. Akhirnya terjadilah pertempuran antara Juk Seng dan Jasiman untuk memperebutkan daerah strategis yang mereka dapat.
Pertarunganpun menjadi semakin sengit, kedua pahlawan saling mengeluarkan jurusnya masing-masing, Jasiman yang memimpin perguruan bela diri dan Juk Seng yang bisa maleh rupo (mengubah diri menjadi singa) dan juga tinatah mendat ora tedas tapak palu neng pandi (dibacok terpental kapaknya dan tidak mempan terhadap sabetan senjata). Tetapi akhirnya, masing-masing dari mereka menancapkan tongkatnya dan bagi yang mampu mencabut tongkat musuhnya dialah sang pemenang. Al-hasil, Juk Seng lah yang mampu mencabut tongkat Jasiman dan keluarlah air dari ruang yang dihasilkan oleh tancapan tongkat Jasiman sehingga menjadikannya olbe’(Madura. Danau,Red) yang sekarang bertempatkan di desa Sengon, Klaten.
Kekalahan Jasiman menyadarkannya akan keunggulan Juk Seng dan sejak saat itu pula Juk Seng diaggapnya sebagai kakak perguruan dan selanjutnya Jasiman, Juk Seng beserta pengikutnya masing-masing bersatu-padu membangun tempat tinggal di sekitar situ. Mereka pun membabat hutan tersebut untuk dijadikan sebuah desa, ketika selesai dibabat, hutan terebut ternyata penuh dengan pohon blimbing maka dinamakan lah desa Blimbing. Juk Seng kemudian dinobatkan oleh para pengikutnya dan pengikut Jasiman sebagai Damang, sedangkan Jasiman sebagai Jaka Tirta (Jaka=penjaga Tirta=banyu) dan sebagi ketua adat kademangan.
Dimasa itulah Juk Seng terkenang sebagai pendiri desa Blimbing dan menjaga desa Blimbing dengan aman karena setiap ada penjajah atau musuh-musuh Juk Seng yang datang menyerang desa, Mbah Singo dapat mengalahkannya dengan mudah. Sehingga untuk mengenang jasa-jasa Mbah Singo yang begitu luhur, masyarakat desa membuat atraksi Singo Ulung (Singo=Singa Ulung=Tangguh) yang dilaksanakan pada upacara ritual bersih desa.
Dalam atraksinya pertunjukkan yang didampingi dengan irama kenong telu ini, bukanlah Singo Ulung semata yang berlaga di depan penonton, terdapat Pawang yang dilambangkan sebagai ketua adat alias Jasiman, Ojung sebagai murid-murid dari Jasiman, Tandak Bini atau penari perempuan yang diibaratkan sebagai Ny. Muslihah istri dari Mbah Singo dan Topeng Konah yang melambangkan Mbah Singo sendiri Singo Ulung menandakan ketangkasannya.
Di setiap ukiran Topeng Konah yang terbuat dari kayu dadap memiliki makna tersendiri, seperti sembilan kumisnya menandakan bahwa kita harus mapek babahan howo songo (orang hidup harus bisa mengendalikan hawa nafsu) howo songo yang dimaksud adalah 9 lubang yang ada pada diri kita, 2 lubang mata, 2 lubang kuping, 2 lubang hidung, 1lubang mulut, 1 lubang kemaluan dan 1 lubang dubur. Tiga warna mata juga mempunyai makna tersirat, mata yang biru menandakan bahwa Mbah Singo seorang yang mengayomi pada anak buahnya, kuning menampakkannya sebagai orang yang berwibawa juga dapat memimpin murid-muridnya dengan baik, dan merah, warna yang membuatnya sebagai orang yang garang ketika musuh mencapai pundi-pundi kekuasaannya. Ada juga unsur Islam pada topeng tersebut,lima garis ombak pada telinga yang menandakan rukun Islam dan enam goresan di pipi menandakan rukun iman yang harus kita pegang teguh dan dijalani dengan konsisten. Kerutan di dahinya juga menampakkan bahwa ia adalah seorang pemikir kulit kemerah-merahan menjadikannya gagah dan hidung yang nampak seperti bungkul jambu membuatnya terlihat tampan.
Sejatinya warga Blimbing tidak menginginkan Singo Ulung ditampilkan di luar wilayah desa Blimbing, dengan alasan takut sekiranya kualat, terkena kutukan dan alasan-alasan mistik lainnya. Tetapi bapak Sugeng. S.Sn, pria kelahiran Jogja yang sangat getol mempelajari seni budaya Bondowoso, menanggapinya sebagai rintangan kecil dalam mengeksplorasi informasi-informasi tentang Singo Ulung. Akhirnya bapak Sugeng dapat menciptakan pertunjukan itu menjadi Ronteg Singo Ulung, pertunjukkan yang lebih tersusun gerakannya, memesona dan juga tampak lebih garang ketika mencengkramkan taringnya, bapak Sugeng membuat Ronteg Singo Ulung dikarenakan pertunjukkan Singo Ulung dahulunya hanya berupa tarian-tarian biasa. “Kalau dulu tuh bhenserobhen (sembarangan) mainnya” ucap bapak yang dua tahun telah menggali data tentang Singo Ulung. Akhirnya setelah menjadi Ronteg Singo Ulung, budaya tersebut dapat ditampilkan dimana pun tempatnya dan untuk pertunjukkannya menjadi syarat mutlak upacara ritual bersih desa Blimbing tersebut.
Budaya ini memang terkesan sangat mistik, sebelum berangkat pentas pun semua orang yang akan tampil harus mengunjungi pesarean (kuburan, Red) Mbah Singo terlebih dahulu, membacakan Al fatihah kepada Juk Seng dan tahlilan. Bahkan ada beberapa cerita (tragedi) berkaitan dengan Singo Ulung. “Dulu ada murid saya yang sudah saya peringatkan untuk tidak menduduki Topeng Konah ketika di dalam truk tetapi dia meremehkannya sebagai benda mati, akhirnya ketika dia turun dari Truk kakinya pun terkilir,” cerita pak Sugeng dengan hikmat. Tapi bukan berarti Singo Ulung harus di ‘tuhankan’. “Sebagai penghormatan saja, memang itu (Singo Ulung, Red) benda mati, tapi yang mati khan bisa saja masih hidup,” tegasnya. Budaya yang penuh dengan goresan artistik ini, sebelum ditampilkan juga harus membaca beberapa doa-doa tertentu demi terlaksananya pementasan dengan lancar. Seperti: “Agung-agung para yai sonten saniki sepuh anom lanang wadon Allohumma lantan pulung jagad agung berkat siro kanga gung bumi bukti kuwoso sahabat sampurno rahayu angunduro keno. Panca baya anyalamatno umat Muhammad oleho berkate Alloh oleho berkate Rasulullah Sallallohu A’laihi wasallam.”